RELEASE PERS :
JAGA WIBAWA DAN INPENDENSI PERADILAN PERKARA ADLIN LIS
(Walhi Sumut-Medan : 28-10-2007)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara (WALHI Sumut) sebagai organisasi non pemerintah yang konsern terhadap penyelematan LH, yang memiliki 45 Anggota NGO/LSM yang tersebar di Kabupaten di Sumatera Utara tetap mengawal dan meminta sikap tegas dari Pengadilan yang menyidangkan perkara perambahan hutan yang dilakukan oleh Adlin Lis,dkk. Pada tanggal 29 Oktober 2007 (besok) akan dilakukan sidang lanjutan dengan agenda pembelaan oleh Pembela Adlin Lis di PN Medan. Pada sidang sebelumnya kita mengikuti langsung dan dengan seksama bahwa Adlin Lis dituntut 10 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan. Tuntutan Jaksa ini sangat tidak sesuai dan tidak sebanding dengan kerusakan hutan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tindakan eksploitasi yang di lakukan oleh perusahaan KNDI dan Inanta Timber di Kecamatan Natal Kabupaten Mandailing Natal. Kami sangat menyesalkan pada tuntutan JPU hanya mendalilkan pada 2 (dua) UU yakni UU Kehutanan dan Korupsi. Padahal dampak kerusakan lingkungan hidup seperti kerusakan daerah aliran sungai (DAS), perubahan iklim mikro, kehilangan vegetasi (pohon), kehilangan daerah resapan air dan sumber air bagi pertanian warga di sepanjang DAS tidak mendapat perhatian serius, ujar Hardi Munthe Direktur WALHI Sumut di Medan (28/10/2007). Tuntutan JPU sesungguhnya bisa lebih berat bahkan lebih dari 15 tahun jika JPU piawai dan professional dalam menerapkan sanksi pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jika UU LH ini diterapkan maka tuntutan JPU akan semakin memberatkan karena perbuatan pidana dilakukan secara sistematis oleh badan hukum dalam kasus oleh perusahaan Keangnam Development Indonesia) dan IT (Inanta Timber) dan terhadap jajaran pemberi perintah dalam perusahaan dimaksud. Untuk itu Hakim jangan hanya terpaku pada tuntutan JPU dan hakim dapat memberikan sanksi yang lebih berat dengan menerapkan UU LH, tambah Mangaliat Simarmata, SH Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) bersama Hardi Munthe Tahun 2006 s/d 2007 Peradilan Hukum Kasus-Kasus Hutan dan Lingkungan Hidup di Sumatera Utara terhadap Mafia/Intelektual Terorganisir Masih Menunjukkan Rangking Paling Buruk dan Hanya Mampu Melakukan Vonis Bebas dan Pilih Tebang serta Tebang Pilih. Azas kepatutan, keadilan dan kepastian bagi rakyat nampaknya belum benar-benar dilakukan di negeri Indonesia ini. Hukum nampaknya masih diperlakukan bagi kaum lemah dan rakyat jelata tapi bagi kapitalis, borjuis dan kaum punya diut tidak tersentuh sama sekali. Pada tahun 2006 ada 56 orang Petani Simalungun yang dijerat hukum karena dituduh merambah hutan, 22 orang diantaranya divonis bersalah dan dipenjarakan oleh PN Simalungun. Kami menyerukan kepada Hakim dan Jaksa agar mampu berlaku adil dan memberikan sanksi yang seberat-beratnya kepada Adlin Lis, jangan hanya kepada rakyat kecil saja hukum diperlakukan tegas dan berat, desak Ir. Agus Marpaung dan Tri Utomo dari Perhimpunan Petani Pinggiran Kawasan Hutan(P3KH-Simalungun) yang merupakan mitra kerja WALHI Sumut. Dampak penegakan hukum yang tidak adil menimbulkan kesan kepercayaan public terhadap hukum semakin menipis. Padahal kerusakan hutan dan lingkungan yang telah menimbulkan banjir.longsor dan bencana kekeringan belum pernah ada terdakwanya. Kita berharap berbagai bencana lingkungan seperti longsor, banjir dan kekeringan dapat dipertimbangkan pengadilan (Hakim dan Jaksa) dalam memutus perkara perambahan hutan untuk memberatkan. Banjir Bahorok 2003 sampai sekarang tidak ada terdakwanya dan terkesan kita hanya menyalahkan alam dan mengesankan takdir dari Tuhan. Padahal kerusakan hutan di berbagai tempat telah menimbulkan penderitaan karena ulah manusia itu sendiri. Untuk itu Aparat Hukum harus bisa memberikan sanksi yang tegas dan berat kepada Adlin Lis, dkk untuk menunjukkan supremasi hukum dapat ditegakkan, ujar Edi Suriatno dari YPMP (Yayasan Pembangunan Masyarakat Pancasila, selaku Anggota WALHI Sumut yang berbasis di Langkat) di Medan (28/10/2007). Kasus perambahan hutan yang dilakukan oleh Adlin Lis, dkk (KNDI dan IT:red) merupakan sorotan dunia dan menjadi barometer penegakan hukum lingkungan dan ujian bagi peradilan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Menurut catatan WALHI Sumut tahun 2006 s/d 2007 ada 11 kasus vonis bebas bagi pelaku perusak hutan (destructive logging). Wibawa dan citra pengadilan khususnya Hakim yang menyidangkan perkara ini sangat dipertaruhkan. Kami meminta agar Hakim tetap menjaga independesi dan tidak terpengaruh oleh pembelaan yang dilakukan oleh kuasa hukum Adlin Lis dalam persidangan kasus ini, tegas Hardi Munthe. Wibawa dan Independesi peradilan di Indonesia dapat memperbaiki citra Indonesia di dunia Internasional khususnya dalam pemberantasan pembalakan hutan dan penyelamatan hutan yang semakin menipis. Perlu diketahui Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Pertemuan Internasional Perubahan Iklim Global yang akan dilakukan di Bali Desember 2007 mendatang. Pertemuan strategis ini terkait penting dengan kondisi hutan di Indonesia. Inilah menjadi ujin berat bagi Aparat Hukum, Pemerintah dan Rakyat Indonesia ketika penggancuran hutan yang dilakukan dengan modus legal dan illegal terus terjadi dimana pengawasan dan sanksi yang ketat dan tegas masih terus dipertanyakan. Untuk itu WALHI Sumut dengan tegas menyatakan Hakim dan Jaksa tidak bermain-main dan tetap independen dalam kasus Adlin Lis ini untuk menunjukkan martabat dan wibawa hukum kita ke dunia Internasional, tegas Hardi Munthe mengakhiri pernyataanya.
JAGA WIBAWA DAN INPENDENSI PERADILAN PERKARA ADLIN LIS
(Walhi Sumut-Medan : 28-10-2007)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara (WALHI Sumut) sebagai organisasi non pemerintah yang konsern terhadap penyelematan LH, yang memiliki 45 Anggota NGO/LSM yang tersebar di Kabupaten di Sumatera Utara tetap mengawal dan meminta sikap tegas dari Pengadilan yang menyidangkan perkara perambahan hutan yang dilakukan oleh Adlin Lis,dkk. Pada tanggal 29 Oktober 2007 (besok) akan dilakukan sidang lanjutan dengan agenda pembelaan oleh Pembela Adlin Lis di PN Medan. Pada sidang sebelumnya kita mengikuti langsung dan dengan seksama bahwa Adlin Lis dituntut 10 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan. Tuntutan Jaksa ini sangat tidak sesuai dan tidak sebanding dengan kerusakan hutan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tindakan eksploitasi yang di lakukan oleh perusahaan KNDI dan Inanta Timber di Kecamatan Natal Kabupaten Mandailing Natal. Kami sangat menyesalkan pada tuntutan JPU hanya mendalilkan pada 2 (dua) UU yakni UU Kehutanan dan Korupsi. Padahal dampak kerusakan lingkungan hidup seperti kerusakan daerah aliran sungai (DAS), perubahan iklim mikro, kehilangan vegetasi (pohon), kehilangan daerah resapan air dan sumber air bagi pertanian warga di sepanjang DAS tidak mendapat perhatian serius, ujar Hardi Munthe Direktur WALHI Sumut di Medan (28/10/2007). Tuntutan JPU sesungguhnya bisa lebih berat bahkan lebih dari 15 tahun jika JPU piawai dan professional dalam menerapkan sanksi pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jika UU LH ini diterapkan maka tuntutan JPU akan semakin memberatkan karena perbuatan pidana dilakukan secara sistematis oleh badan hukum dalam kasus oleh perusahaan Keangnam Development Indonesia) dan IT (Inanta Timber) dan terhadap jajaran pemberi perintah dalam perusahaan dimaksud. Untuk itu Hakim jangan hanya terpaku pada tuntutan JPU dan hakim dapat memberikan sanksi yang lebih berat dengan menerapkan UU LH, tambah Mangaliat Simarmata, SH Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) bersama Hardi Munthe Tahun 2006 s/d 2007 Peradilan Hukum Kasus-Kasus Hutan dan Lingkungan Hidup di Sumatera Utara terhadap Mafia/Intelektual Terorganisir Masih Menunjukkan Rangking Paling Buruk dan Hanya Mampu Melakukan Vonis Bebas dan Pilih Tebang serta Tebang Pilih. Azas kepatutan, keadilan dan kepastian bagi rakyat nampaknya belum benar-benar dilakukan di negeri Indonesia ini. Hukum nampaknya masih diperlakukan bagi kaum lemah dan rakyat jelata tapi bagi kapitalis, borjuis dan kaum punya diut tidak tersentuh sama sekali. Pada tahun 2006 ada 56 orang Petani Simalungun yang dijerat hukum karena dituduh merambah hutan, 22 orang diantaranya divonis bersalah dan dipenjarakan oleh PN Simalungun. Kami menyerukan kepada Hakim dan Jaksa agar mampu berlaku adil dan memberikan sanksi yang seberat-beratnya kepada Adlin Lis, jangan hanya kepada rakyat kecil saja hukum diperlakukan tegas dan berat, desak Ir. Agus Marpaung dan Tri Utomo dari Perhimpunan Petani Pinggiran Kawasan Hutan(P3KH-Simalungun) yang merupakan mitra kerja WALHI Sumut. Dampak penegakan hukum yang tidak adil menimbulkan kesan kepercayaan public terhadap hukum semakin menipis. Padahal kerusakan hutan dan lingkungan yang telah menimbulkan banjir.longsor dan bencana kekeringan belum pernah ada terdakwanya. Kita berharap berbagai bencana lingkungan seperti longsor, banjir dan kekeringan dapat dipertimbangkan pengadilan (Hakim dan Jaksa) dalam memutus perkara perambahan hutan untuk memberatkan. Banjir Bahorok 2003 sampai sekarang tidak ada terdakwanya dan terkesan kita hanya menyalahkan alam dan mengesankan takdir dari Tuhan. Padahal kerusakan hutan di berbagai tempat telah menimbulkan penderitaan karena ulah manusia itu sendiri. Untuk itu Aparat Hukum harus bisa memberikan sanksi yang tegas dan berat kepada Adlin Lis, dkk untuk menunjukkan supremasi hukum dapat ditegakkan, ujar Edi Suriatno dari YPMP (Yayasan Pembangunan Masyarakat Pancasila, selaku Anggota WALHI Sumut yang berbasis di Langkat) di Medan (28/10/2007). Kasus perambahan hutan yang dilakukan oleh Adlin Lis, dkk (KNDI dan IT:red) merupakan sorotan dunia dan menjadi barometer penegakan hukum lingkungan dan ujian bagi peradilan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Menurut catatan WALHI Sumut tahun 2006 s/d 2007 ada 11 kasus vonis bebas bagi pelaku perusak hutan (destructive logging). Wibawa dan citra pengadilan khususnya Hakim yang menyidangkan perkara ini sangat dipertaruhkan. Kami meminta agar Hakim tetap menjaga independesi dan tidak terpengaruh oleh pembelaan yang dilakukan oleh kuasa hukum Adlin Lis dalam persidangan kasus ini, tegas Hardi Munthe. Wibawa dan Independesi peradilan di Indonesia dapat memperbaiki citra Indonesia di dunia Internasional khususnya dalam pemberantasan pembalakan hutan dan penyelamatan hutan yang semakin menipis. Perlu diketahui Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Pertemuan Internasional Perubahan Iklim Global yang akan dilakukan di Bali Desember 2007 mendatang. Pertemuan strategis ini terkait penting dengan kondisi hutan di Indonesia. Inilah menjadi ujin berat bagi Aparat Hukum, Pemerintah dan Rakyat Indonesia ketika penggancuran hutan yang dilakukan dengan modus legal dan illegal terus terjadi dimana pengawasan dan sanksi yang ketat dan tegas masih terus dipertanyakan. Untuk itu WALHI Sumut dengan tegas menyatakan Hakim dan Jaksa tidak bermain-main dan tetap independen dalam kasus Adlin Lis ini untuk menunjukkan martabat dan wibawa hukum kita ke dunia Internasional, tegas Hardi Munthe mengakhiri pernyataanya.